Jumat, 03 Juli 2015

PELUANG TERJADINYA FRAUD AKIBAT MORAL HAZARD

TINJAUAN KRITIS ANALISIS DAMPAK PUTUSAN MK NO 77/PUU-IX/2011 PIUTANG TAK TERTAGIH DI BUMN TERHADAP PELUANG TERJADINYA FRAUD
AKIBAT MORAL HAZARD

Oleh: Yusron Ali

PENDAHULUAN
Mekanisme penghapusan piutang sebagaimana di amanatkan dalam PP Nomor 14 Tahun 2005 tentu memberikan kemudahan bagi pemerintah maupun daerah menyelesaiakan Piutang Negara. Namun salah satu persoalan yang timbul dari penghapusan piutang adalah masih terdapat perbedaan penafsiran Puitang BUMN, apakah kerugian piutang tak tertagih dalam BUMN akibat piutang macet termasuk kerugian keuangan negara? PP 33 Tahun 2006 sebagai Perubahan PP 14 tahun 2005 merupakan jawaban atas pertanyaan diatas. Lebih jauh ditegaskan dalam putusan Mahkamah konstitusi No.77/PUU-IX/2011 pada tanggal 25 september, bahwa piutang BUMN tidak dapat lagi dikatakan sebagai piutang Negara, ini artinya penyelesaian piutang BUMN tidak lagi dilipahkan ke panitia urusan piutang negara (PUPN)/KPKNK.
Keluarnya putusan MK memang memberikan angin segara bagi pelaku-pelaku BUMN dalam mengelola keuangannya sendiri secara mandiri. Namun, persoalan yang tentu harus diteliti lebih lanjut mengenai tindakan pasca Putusan MK tersebut yaitu bahwa mekanisme penyelesaian piutang dalam BUMN harus diawasi secara ketat, agar dapat memastikan BUMN dalam melakukan penyelesaian piutang tak tertagihnya telah menggunakan prinsip-prinsip yang professional. Sebab, dikhawatirkan dengan adanya keputusan MK ini BUMN Sebagai lembaga yang juga merupakan pengelola uang Negara yang dipisahkan, akan membuka ruang dan mempermudah peluang bagi tindakan fraud akibat moral hazard melalui adanya asimetri infomasi antaran BUMN dan Pemerintah. Asimetri infomasi yang dimaksudkan disini adalah keterbatasan informasi yang dimiliki Pemerintah dalam mengawasi urusan penghapusan piutang macet yang sebelumnya diserahkan kepada PUPN.
Disisi lain, sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa keluarnya putusan MK memberikan pemahaman tentang kekayaan yang dipisahakan pada BUMN hanya bersifat seperti investasi dalam bentuk penyertaan modal, yang berarti sama seperti modal-modal lain yang juga di investasikan sehingga jika terjadi risiko kerugian maka kerugian tersebut tidak bisa dikatakan kerugian negara tetapi merupakan kerugian perusahaan semata. Untuk menjawab persolaan  tentang ketidakpasitan pengembalian perusahaan ini, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 44 tahun 2005 yang mengatur tentang mekanisme penyertaan modal. PP ini diharapkan dapat meminimalisir tingka kegagalan pengembalian dalam bentuk menbuat mekanisne penyertaan modal yang ketat. Namun, Lagi-lagi kebijakan ini tentu tidak dapat memberikan jaminan bahwa  pencegahan tindakan fraud dapat dihindari setelah penyerataan modal. Dengan demikina tidak adanya jaminan tersebut dan disisi lain besarnya jumlah penyertaan modal pemerintah kepada BUMN yang akan diuraikan secara singkat selanjutnya, maka pemerintah tentu harus selalu mengontrol dana tersebut dan memastikan bahwa tidak ada tindakan fraud.
Total Jumlah keuangan Negara yang dipisahakan pada BUMN dalam bentuk pernyetaan modal menurut Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) dalam Simposium Nasional bertemakan “Menyongsong Penerapan COSO 2013 dan ERM di Lingkungan BUMN” pada kami 12 desember 2013 yang dilaksanakan dijakarta yang dikutip antara lain:

Jumlah aset yang dikelola BUMN per 31 Desember 2012 adalah sebesar Rp3.534 triliun, dan dari jumlah tersebut, sebesar Rp656,7 triliun merupakan kepemilikan negara (equity). Selain itu, dari total laba bersih BUMN Tahun 2012 sebesar Rp139,4 triliun, diantaranya laba yang menjadi bagian pemerintah (dividen) sebesar Rp30,8 triliun. Sementara itu, jumlah investasi/Penyertaan Modal Negara kepada BUMN dalam Tahun 2012 adalah sebesar Rp15,3 triliun dan jumlah Penyertaan Modal Negara dalam 5 tahun terakhir mencapai Rp39,98 triliun. Besarnya Penyertaan Modal Negara tersebut belum termasuk penyertaan negara yang belum ditetapkan statusnya (BPYBDS), yaitu sebesar Rp36,6 triliun sampai dengan 31 Desember 2012. Selain mengelola aset negara, beberapa BUMN juga merupakan pelaksana program subsidi /PSO pemerintah, yaitu subsidi energi, subsidi pupuk, subsidi beras, dan public service obligation (PSO). Pada Semester I Tahun 2013, BPK telah melakukan pemeriksaan atas subsidi/PSO pada 10 entitas di lingkungan BUMN dan telah mengoreksi perhitungan subsidi/PSO Tahun 2012 senilai Rp9,03 triliun, sehingga total subsidi/PSO yang harus dibayar pemerintah turun dari Rp378,32 triliun menjadi Rp369,29 triliun.

Disisi lain, BPK juga mengumumkan tindakan kecurangan yang merugikan negara terkait penyertaan modal BUMN. Dan ini tentu berdampak mengurangi kemampuan keuangan Negara dalam melayani hajat hidup masyarakat. Kerugian - kerugian yang ditimbulkan antara lain dikutip sebagai berikut
Pada Semester I Tahun 2013, BPK telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) pada 21 objek pemeriksaan di lingkungan BUMN dan menemukan 510 kasus yang terdiri atas 234 kasus kelemahan sistem pengendalian intern dan 276 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Dari jumlah kasus ketidakpatuhan, dapat dirinci bahwa : (1) sebanyak 3 kasus merupakan temuan kerugian negara sebesar Rp1,32 miliar; 38 kasus merupakan temuan kerugian perusahaan/korporasi sebesar Rp1,77 triliun, dan 52 kasus merupakan temuan kekurangan penerimaan sebesar Rp832,93 miliar; dan (2) sebanyak 6 kasus merupakan temuan ketidakhematan sebesar Rp4.19 miliar; sebanyak 2 kasus merupakan temuan ketidakefisienan sebesar Rp2,28 miliar; dan sebanyak 28 kasus merupakan temuan ketidakefektivan sebesar Rp44,75 triliun.
Sedangkan untuk kerugian negaranya sendiri yang ditimbulkan oleh piutang tak tertagih dalam BUMN dikutip sebagai berikut:
Hingga Juni 2012, data Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu menunjukkan jumlah piutang negara mencapai Rp55 triliun. Sementara itu, pada akhir 2011 jumlahnya mencapai Rp62 triliun dan pada akhir 2010 sebesar Rp51 triliun. Hingga Juni 2012 itu ada 125.469 berkas kasus, sehingga dapat dirata-ratakan satu kasusnya sebesar Rp40 juta. Namun, jika dipilah, kasus piutang negara tersebut lebih banyak merupakan kasus obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menengok kasus BLBI, ada sekitar Rp144 triliun yang digelontorkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Maka tidak heran jika kali ini sorotan publik atas penghapusan piutang itu banyak yang melihatnya dengan kacamata sempit yakni berupa “penghapusan dosa BLBI” Dalam catatan Kementerian BUMN, total piutang seluruh bank BUMN yang sudah dihapusbukukan mencapai sekitar Rp90 triliun, dengan Rp24 triliun di antaranya milik Bank BNI dan Rp35 triliun milik Bank Mandiri. Namun, hingga kini, piutang yang sudah dihapusbukukan masih berstatus menggantung atau belum dihapustagihkan.
Dari uraian singkat diatas, penulis ingin mencoba menunjukan bahwa keputusan MK No 77/PUU-IX/2011 selain memberikan dampak positif perlu dianalisis lebih jauh tindaklanjutnya. Dan Atas dasar uraian diatas, penulis mencoba menggunakan skeptisisme profesional menelusuri prosedur yang digunakan BUMN dalam menindaklanjuti penyelesaian piutang tak tertagih, dan apakah mekanisme yang diterapkan layak Ataukah perlu di modufikasi. Serta masih adakah peran pemerintah dalam mengawasi pengelolaan Penyertaan modalnya dalam BUMN terkait piutang yang tak tertagih akibat kredik macet.

PEMBAHASAN
PIUTANG NEGARA
Sejarah pengurusan piutang negara jika dirunut dari belakang tentu telah lama diatur melalui UU No. 49 Prp. Tahun 1960. Tetapi hingga era reformasi masalah piutang baru mulai diurai secara kritis dalam UU Nomor 1 2004 yang mengharuskan keluarnya PP 14 tahun 2005 sebagai aturan pelaksanaannya. UU Nomor 1 Tahun 2004 sendiri mendefinisikan piutang negara dalam pasal 1 angka (6) yang menyatakan, Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Lebih lanjut  pasal 37 angka (5) menyatakan Tata cara penyelesaian dan penghapusan piutang negara/daerah diatur dalam peraturan pemerintah sebagai turunan dari tata peraturan perundang undangan yang berlaku, PP 14 tahun 2005 selaku Peraturan pemerintah yang dimaksudnya dalam pasal 1 angka (1) memberikan mendefinisikan Piutang Negara yang sama dengan UU Nomor 1 2004. Namun dijelaskan lebih jauh dalam pasal 19 dan 20 bahwa Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Tata cara Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutangnya diserahkan kepada PUPN. Namun keluarnya PP 33 tahun 2006 sebagai perubahan atas PP 14 tahun 2005 dalam pasal (1) mengharuskan penghapusan atas pasal (19) dan (20) diatas, dan pasal (2) menyakatan untuk pengurusan piutang perusahan negara/daerah diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Dan untuk memertegas aturan pelaksanananya, MK mengeluarkan putusa NO 77/PUU-IX/2011 yang mengharuskan BUMN menangani sendiri sesuai prinsip kemandirian BUMN.

PIUTANG TAK TERTAGIH
Penyelesaian Utang piutang setelah keluarnya putusan MK NO 77/PUU-IX/2011 mengharuskan penyelesaian piutang diserahkan kepada BUMN dan tidak lagi menjadi urusan PUPN. Dasar hukum penyelesaian piutang dalam BUMN dapat dikatakan berdasarkan tatacara perundang-undang yang berlaku pada Perseroan Terbatas.
Menurut warren Peyelesaian piutang macet dalam Perseroan Terbatas menggunakan dua Mekanisme penghapusan piutang. Dua metode tersebut antara lain: metode penghapusan langsung (Direct write-off method) dan metode cadangan penghapusan piutang (Allowance method). Metode penghapusan langsung dilakukan melalui penghapusan secara langsung dengan pertimbagan bahwa piutang tersebut benar-benar dinyatakan tidak tertagih oleh perusahaan. Sedangkan untuk metode kedua yakni cadangan penghapusan piutang sebelum melakukan penghapusan terlebih dahulu perusahaan mengalokasikan cadangan kerugian piutang, cadangan kerugian tersebut diestimasikan sesuai kerugian piutang yang benar-benar terjadi.
Menurut penulis, mekanisme diatas tentu banyak memiliki kelemahanan. Oleh karena itu, Perusahaan sebelum melakukan penghapusan sesuai prinsip-prinsip profesionalnya. Perlu, menata secara baik sistem pengendalian internalnya guna mencegah dan mendeteksi kesalahan yang dilakukan. Peran SPI dalam pencegahan diharapkan mengevaluasi sistem pemberian kredit, memperketat standar pengajuan kredit, mengawasi setiap tindakan yang bisa mengakibatkan terjadinya moral hazard.  Sedangkan, dalam pendeteksian piutang yang tak tertagih serta tindaklanjutnya, perusahaan perlu memberlakukan sistem pengaduan hukum yang keras, atau upaya lain yang ketat, sehingga penerima kredit yang melanggar dapat merasakan efek jerah atas tindakannya, Terkecuali untuk kondisi tertentu seperti bencana alam. Sinergitas antara Kedua upaya diatas juga harus dijaga dan perlu dijalankan secara bersamaan.

PELUANG TERJADINYA FRAUD PADA BUMN
Mengawali pembahasan tentang peluang fraud ini, pertanyaan yang perlu diajukan untuk mempermudah memahami fraud adalah apa itu fraud? mengapa terjadi fraud? Untuk apa fraud itu dilakukan? Dan bagaimana langkah pencehagan dan/atau mendeteksi fraud tersebut? Untuk menjawabnya akan diurakian satu persatu sebagai berikut:

1.      Apa itu fraud?
Menurut Black law dictionary (8th Ed) dalam priantara (2013) fraud dikutip sebagai berikut:
The intentional use of deceit, a trick or some dishonest means to deprive another of his meney, property or legal right, either as a cause of action or as fatal element in the action itself.
Menurut Standar the institute of internal auditor tahun 2013 dalam priantara (2013) fraud diartikan sebagi:
Any illegal act characterized by deceit, concealment, or violation of trust. These acts are not dependent upon the threat of violence or physical force. Frauds are perpetrated by parties and organizations to obtain: money, property, or services; to avoid payment or loss services; or to secure personal or business advantage.

Dari kedua definisi yang diuraikan diatas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa fraud merupakan suatu perubatan yang di sengaja sebagai unsur pelanggaran kepercayaan yang menimbulkan kerugian akibat tipu daya/kebohongan dan berdampak fatal terhadap sesuatu.

2.      Mengapa Fraud terjadi?
Menurut riset yang dituliskan Donald Cressey (1953) dalam priantara (2013) fraud memiliki tiga sifat umum (fraud triangle):
1.      Pressure
2.      Opportunity
3.      Rasionalization

Sedangkan G. Jack Bologna dengan teori GONE Dalam Priantara (2013) menjelaskan Empat faktor pendorong seseorang melakukan tindakan fraud:
1.      Greed (keserakahan)
2.      Opportunity
3.      Need
4.      Exposure (Pengungkapan)

Teori yang juga membicarakan faktor pendorong/pemicu terjadinya tindakan fraud ialah MCP theory. Nama teori ini merupakan singkatan dari tiga faktor pemicu fraud (priantara 2013), yaitu:
1.      Motives
2.      Capabilities
3.      Possibility of exposure

Dari dua gagasan diatas penulis mencoba memadukannya, kemudian menyimpulkan bahwa dapat dikatakan tindakan fraud terjadi akibat enam faktor pendorong selaku sifat umumnya. Faktor-faktor tersebut yaitu adanya Pressure, Opportunity, Rasionalization, Greed, Need, Exposure. Motives, dan Capabilities.

1.      Pressure dapat diartikan secara sederhana adalah suatu kondisi mental yang labil akibat pengaruh pihak luar yang bersifat memaksa, kondisi ini juga biasanya terjadi pada saat situasi mendesak pelaku tuanakota mengsitilahkannya sebagai “tekanan yang menghipmit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang)”. Dijelaskan pula dalam Tuanakota (2014) yang mengutip Cressey, menjelaskan bahwa, ketika para pelaku “pelanggar kepercayaan” ditanya: mengapa waktu dulu anda tidak melanggar? Dan mengapa anda tidak melanggar kepercayaan yang lainnya yang tekait dengan kedudukan anda sekarang? Jawaban yang umumnya diberikan salah satunya berkaitan/dikarenakan belum adanya kebutuhan (yang mendesak) sekarang, ada juga yang beranggapan bahwa hal itu kadang belum pernah terpikirkan untuk dilakukan sebelumnya, dan tentu pelaku kadang menganggap bahwa dulunya memang perbuatan tersebut tidak etis, namun itu tidak untuk sekarang. Selanjutnya Creseey dalam penelitiannya yang dikutip Tuanakota (2014) menyatakan bahwa ada enam situasi yang dihadapi para pelaku pelanggaran kepercayaan ini yaitu Violation Of Ascribed Obligation, Problems Resulting From Personal Failure, Business Reversals, Physical Isolation, Status Gaining, Dan Employer-employee Relations.
2.      Opportunity atau kesempatan. keadaan ini biasanya terjadi akibat lemahnya pengawasan internal sehingga memudahkan terjadinya tindakan fraud, Cressey berpandapat dalam Tuanakota (2014) bahwa ada dua komponen dari presepsi terkait peluang ini, pertama General Information (GI),  dan yang kedua Technical skill (TS). GI dapat diartikan pengetahuan tentang suatu kedudukan yang mengandung kepercayaan jika dilanggar tidak berkonsekwensi. Pengetahuan ini sendiri merupakan hasil konklusi secara umum mengenai kondisi tindakan fraud yang tidak diketahui atau tidak dihukum/terkena sangsi yang banyak terjadi. Sedangkan, TS diartikan sebagai keahlian atau ketrampilan yang dimiliki/dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan. Lebih jauh Tuanakota berpendapat dua persepsi diatas tidak hanya berlaku pada kelompok yang memiliki posisi strategis (memiliki kedudukan) tetapi berlaku juga pada kalangan pegawai biasa, perbedaannya adalah bagi kelompok yang memiliki kedudukan, mereka tentu rentan menggunakannya sebab kelompok ini sangat memungkinkan untuk memanfaatkan General infromasion  dan Technical skill yang mereka miliki.
3.      Rasionalization (Rasionalisasi). Rasionalisasi merupakan kemampuan mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan. Lebih jauh kemampuan ini berfungsi sebagai alat pencitraan juga pembenaran diri dari hukum guna menjaga kualitas kepercayaan yang dimilikinya, kemampuan ini biasanya dimiliki oleh kelompok-kelompok yang dijuluki Edwin H. Sutherland dengan istilah White-Collar Crime (Tuanakota 2014).
4.      Greed/keserakahan. Sifat ini biasa timbul pada kelompok yang dalam bahasa agama disebut kelompok yang tidak mensyukuri nikmatnya. Faktor ini merupakan faktor personal yang ada pada manusia (diri)
5.      Need. Untuk menguraikan faktor ini, penulis mencoba menggunakan kacamata psikologi. Maslow dalam Godono (2014) dengan Theory of needs-nya mencoba menjelaskan heirarki kebutuhan manusia, menurutnya manusia dipicu oleh kebutuhannya, sehinga perlu dipengaruhi, jika tidak dipengaruhi oleh sesuatu maka manusia tersebut akan berusaha memenuhi kebutuhannya. Motifasi manusia beranding lurus dengan pemenuhann kebutuhannya. jika telah terpenuhi kebutuannya tersebut maka dengan sendirinya manusia akan kehilangan motifasi. Faktor ini juga sama seperti Greed berapa pada personal dan tentu sangat sulit dihilangkan tetapi bisa dikendalikan.
6.      Exposure/pengungkapan berkaitan dengan kemungkinan terungkap/diketahui tindakan fraud oleh pihak berwenang. Lemahnya pengungkapan merupakan salah satu pemicu tindakan fraud, sehingga penting membangun pengendalian internal yang baik dalam hal pendeteksian fraud. Jika pengungkapan tindakan fraud dilakukan dengan baik, tentu pelaku fraud akan takut melakukan fraud bahkan hanya ingin mendekati perbuatan fraud. Faktor Exposure dan Opportunity selalu berkaitan dengan organisasi sebagai korban perbuatan fraud (Priantara 2013)
7.      Motives. Sering dikenal sebagai fator pendorong seseorang melakukan tindakan fraud. Faktor ini biasa melingkupi semua faktor yang telah diuraikan diatas. Juga faktor pemicu lain bagi si pelaku tindakan fraud.
8.      Capabilities. Capabilitas merupakan kemampuan yang dimilik dalam melakukan fraud. Faktor ini selalu ada pada pihak-pihak memiliki pengaruh, juga pengambil keputusan.

Dengan demikian dapat dikatakan selagi BUMN masih miliki/termasuk memiliki salah satu dari delapan faktor pemicu terjadinya tindakan fraud yang telah diuraikan diatas, maka penting bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan. Pengawasan tersebut berfungsi sebagai alat pemerintah menjaga kekayaan yang telah dipisahkan berupa penyertaan modalnya guna menghindari penyalahgunaan yang berakibat pada kerugian keuangan Negara.

PERLUNYA SKEPTISISME PROFESSIONAL
“Skepticism is the first step on the road to philosophy” kutipan ini merupakan tuliasan Denis Diderot seorang filsuf. Dikutip dalam bukunya Tuanakota “Berpikir kritis dalam auditing” menurut penulis Diderot ingin mengatakan pentingnya sifat skeptis dalam pengujian suatu kebenaran. Sejalan dengan pembahasan ini bagai penulis semua orang dan lebih khusus untuk pemeritah haruslah memiliki sikap skeptis sebagai salah satu penguji kebenaran. Pemerintah tidak harus menyetujui sebuah keputusan dengan begitu saja tanpa pertimbangan yang matang dalam hal ini “kehati-hatian profesionalnya, dan untuk pemerintah seharusnya sudah menjadi keharusnya memiliki sikap ini.
Jika kita belajar dari auditor sebagai pemeriksa, penting seorang auditor memiliki sikap ini. Sebagaimana dikatakan bahwa salah satu penyebab gagalnya audit (audit failure) adalah rendahnya sikap skeptisisme professional, peran skeptisime professional sendiri adalah membatu auditor dalam menilai dengan kritis risiko yang dihadapi dan/serta memperhitungkan risiko tersebut dengan menggunakan berbagai keputusan Tuanakota (2011). Dari sini pemerintah dapat menggunakan sikap ini dalam menilai risiko-risiko yang terjadi. Risiko yang tentunya sangat mengkhawatirkan yaitu risiko kerugian negara akibat terjadinya fraud.  Untuk itu, penerapannya sangat diperlukan.
Lebih jauh, Skeptisisme professional menurut IAI. SA seksi 230.08 dalam Tuanakota (2011) mendefinisikan skeptisisme professional sebagai berikut: “Auditor tidak menggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi”. Lebih jauh menurut IFAC dalam Tuanakota (2011) unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun sikap Professional skepticism adalah:
1.       A Critical Assessment. Diartikan sebagai adanya penilaian kiritis, dan tidak menerima begitu saja suatu hal.
2.      With A Questioning Mind. Mengandung maksud, Membutuhkan cara berfikir yang terus-menerus dalam bertanya dan juga mempertanyakan Sesuatu.
3.      Of the validity of audit evidence obtained. Yang berarti, bukti audit yang diperoleh harus memiliki nilai kesahihan yang tinggi.
4.      Alert to audit evidence that contradicts. Diartikan sebagai, perlunya kewaspadaan terhadap bukti audit yang dianggap kontradiktif.
5.      Brings into the question reliability of documents and responses to inquiries and other information. Yang berarti bahwa pentingnya mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain yang diperoleh.
6.      Obtained from management and those charged with governance. Mengandung arti bahwa, yang diperoleh haruslah berasal dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan.

Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa siapaun jika ingin menguji kebenaran penting dan perlu untuk menggunakan sikap skeptisisme yang profesional dalam segala penilaian dan pengambilan keputusannya. Perlunya profesional skeptisisme guna membaca segala sisi yang belum pasti kejelasannya. 

PELUANG MORAL HAZART AKIBAT TERJADINYA ASIMETRIS INFORMASI
Apa itu asimetri informasi? Asimetri informasi merupakan suatu kondisi tidak seimbang/merata informasi yang diperoleh. Dalam teori keagenan moral hazard terjadi akibat kondisi asimetri informasi antara partisipal (Pemintah, pemegang saham) dengan agen (manajer), (Scott (2000) dalam Sayidah 2010). Selanjutnya, Menurut Scott (2000) dalam Ibrahim (2010) asimetri informasi terjadi akibat dua hal. Pertama. Adverse selection, yaitu bawa pihak internal biasa lebih banyak mengetahui informasi tentang keadaan perusahaan dan prospeknya dibandingkan pihak eksternal. Sehingga keputusan yang diambil pihak internal tidak sepenuhnya diketahui oleh pihak eksternal. Kedua. Moral Hazard, menurut Scott (2000) dalam Ibrahim (2010) Moral hazard, yaitu perbuatan tidak etis yang dilakukan dengan melanggar kontrak kesepakatan. Pelanggaran kotrak yang dimaksukan disini berkaitan dengan kegiatan pihak internal perusahaan yang tidak seluruhnya diketahui oleh pihak eksternal yang artinya pihak internal melakukan tindakan diluar pengetahuan pihak eksternal.
Lebih jauh, menurut Hahm dan miskhin (2000) dalam Ibrahim (2010) bahwa persolan asimetri informasi merupakan sumber masalah moral hazard, dan fenomena ini terjadi sangat tinggi di Indonesia yang diakibatkan oleh lemahnya regulasi sitem keuangan. Salah satu contoh dalam dunia perbankan yaitu lemahnya loan officer dan risk assessment. Didukung pula oleh Ibrahim dan Ragimun (2010) yang menyatakan, terdapat enam masalah moral hazard pada lembaga perbankan. Salah satunya Moral hazard pemegang saham (bank) terhadap deposan.  Moral hazard disini terjadi akibak pemegang saham berani menetapkan dana deposan dalam proyek-proyek yang memiliki resiko tinggi tanpa mempertimbangkan kepentingan deposan. Tentu kemungkinan yang terjadi bisa berupa proyek tersebut gagal atau berhasil. kegagalan proyek dapat berakibak klaim deposan gagal terbayarkan, sedangan jika berhasil, pemengang saham menikati keuntungan paling besar dan Deposan tentu tidak menikmatinya. Dan kelima moral hazard lainnya yaitu Moral hazad pemegang saham terhadap penjamin, Moral hazad manajer terhadap pemegang saham, Moral hazard pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas, Moral hazard peminjam (debitur) terhadap bank, dan Moral hazard peminjam (debitur) terhadap lembaga penjamin kredit atau lembaga asuransi kredit.
Dari urain diatas, Dengan demikan dapat dikatan bahwa peluang moral hazard akibat terjadinya asimetri informasi antara BUMN dan Pemeritah sangat mungkin terjadi setelah dikeluarkannya putusan MK diatas, untuk itu perlu adanya perhatian intensif terdapat pernyertaan modal pemerintah kepada BUMN.

MASIH ADAKAH PERAN BPK?
Sedikit meriveuw kebelakang, Dalam UU Nomor 1 tahun 2004 pasal 1 angka (22), Kerugian Negara/Daerah diartikan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 59 angka (1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku. Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  Dan Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 62 angka 1-2). Sedangkan, terkait dengan kerugian yang dilakukan BUMN, Pasal 67 angka (2) menyatakan Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah dalam Undang-undang ini (UU No 1 tahun 2004) berlaku pula untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam undang undang tersendiri. Dari uraian beberapa pasal diatas dapat dikatakan bahwa dalam persoalan potensi kerugian untuk perusahaan negara diserahkan sepenuhnya kepada BPK selaku lembaga yang memiliki tugas pengawasan. Tugas ini sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 23E.
Pertanyaan kritis yang timbul dari uraian singkat ini apakah dengan dikeluarkannya putusan MK No.77/PUU-IX/2011 diatas. Mengharuskan BPK tidak lagi ikut campur dalam pengawan BUMN? Jika benar bahwa BPK tidak harus telibat maka tentu sangat disayangkan. Namun, Setelah keluanya Putusan MK NO 62/PUU-XI/2013 tentu memberikan angin segar bagi pemerintah dalam melindungi kekayaan yang dipisahkannya dalam BUMN, keputusan ini juga tentu menyudahi keinginan Pelaku-pelaku BUMN yang ingin menghilangkan peran BPK dalam pengawan serta pemeriksaan BUMN tersebut.
Selanjutnya BPK selaku badan yang memiliki tugas pengawasan haruslah berperan dengan sebaik-baiknya. Mengingat segala kemungkinan tindakan fraud yang bisa dilakukan dalam BUMN. BPK tentu harus memiliki sikap skeptisisme profesional, terlebih Peran BPK dibutuhkan dalam menilai apakah keputusan BUMN dalam melakukan penghapusan piutang tak tertagih akibat piutang macet telah dilakukan secara baik. Mengigat kemungkinan terjadinya moral hazard akibat asimetri informasi oleh BUMN selaku pengelola modal dengan pemerintah begitu tinggi setelah keluarnya putusan MK MK No.77/PUU-IX/2011 yang meniadakan peran PUPN selaku bagaian yang ditugaskan mengurus segala piutang negara.

KESIMPULAN

            Dari hasil uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keluarnya putusan MK No.77/PUU-IX/2011 terkait peniadaan peran PUPN dalam menindaklanjuti persoalan piutang negara pada BUMN, Pemerintah tentu haruslah tetap mengawasi tindaklanjut dari mekanisme Penghapusan puitang BUMN melalui pengawasan dan pemeriksaan BPK. Sehingga, dalam penghapusan piutang macet BUMN, BUMN tetap menggunakan prinsip-prinsip profesional dan tidak keluar dari mekansime yang ada. Peluang terjadinya moral hazard oleh BUMN kepada pemerintah tentu tidak dapat dihindari. Peluang ini dapat berakibat tindakan fraud yang tentu berdampak pada klaim pengembalian pemerintah yang telah dibatasi oleh keputusan MK diatas.  
            BPK selaku badan negara diharapkan dapat mengawasi aktifitas BUMN. Pengawasan yang diperlukan disini tentu melingkupi segala yang di atur dalam/sesuai amanat perundang-undangan. Dan terkusus berupa pengawasan pengelolaan piutang macet dari kondisi asimetri informasi yang ada. Dalam pengawasan tersebut sketisisme profesional Penting untuk digunakan guna membaca/mengamati penggunaan modal pemerintah. Dengan begitu diharapkan pengawasan BPK ini dapat meminimalisir terjadinya kerugian keuangan Negara dalam penyertaan modal yang diakibatkan oleh perilaku moral hazard dan asimetri informasi Peran Pengawan BPK disini juga berfungsi sebagai bentuk transparansi BUMN kepada masyarkat guna menghindari berbagai kasus hukum yang diakibatkan oleh moral hazard.

 DAFTAR PUSTAKA

Jurnal. 2010. Sayidah. Nur. Solusi Moral Dan Spiritual Atas Masalah Moral Hazard.  
Universitas    Dr. Soetomo Surabaya
Jurnal. Rahyani Sri Wiwin. Problematika Penyelesaian Piutang BUMN Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal. 2010. Ibrahim. Taswan. Dan Ragimun. Moral Hazard Dan Pencegahannya Pada Industri Perbankan Di Indonesia 
Media Kekayaan Negara. Pengurusan Piutang Negara Pasca Putusan Mk. Edisi No 12 Tahun Iv/2013
Priantara. Diaz. 2013. Fraud Auditing Dan Investigation.Mitra Wacana Media. Jakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006
Tuanakotta M Theodorus. 2012. Akuntansi Forensik Dan Audit Investigasi. Salemba Empat. Jakarta
Undang-Undang No 1 Tahun 2004
Situs.Http://Www.Bpk.Go.Id/Assets/Files/Attachments/Attach_Post_1387362592.Pdf. Siaran Pers Bpk. 2013. Pentingnya Efektivitas Penerapan Sistem Pengendalian Intern Dan Pengelolaan Risiko Manajemen Di Lingkungan BUMN.
Situs.Http://Wartaekonomi.Co.Id/Berita6970/Kinerja-Bumn-Menyetip-Piutang Macet.Html. Warta Ekonomi. (2012). Habib Y Jajang. Kinerja Bumn: Menyetip Piutang Macet. 

           














Tidak ada komentar:

Posting Komentar